BIOTEKNOLOGI BERBASIS KEKAYAAN HAYATI UNTUK MEMBANGUNAN BANGSA BERWAWASAN LINGKUNGAN

Bioteknologi memang penting jika dikaitkan dengan kekayaan hayati di negeri ini. Indonesia adalah negara nomor dua terbesar di dunia setelah Brasil yang memiliki keragaman hayati. Bukan itu saja, secara spesifik, dua negara berkembang ini saling bersaing dalam menunjukkan kekayaan hayati yang dimilikinya, Brasil mempunyai jumlah keanekaragaman tumbuhan nomor satu, sedangkan Indonesia mempunyai keanekaragaman mamalia terbesar di dunia. Bedanya, Brasil, negara yang mempunyai daratan sangat luas yaitu hutan Amazonia. Sedangkan Indonesia mempunyai jumlah pulau dan laut yang luas.

Indonesia merupakan negara, memang telah lama memperhitungkan pengembangan potensi bioteknologi. Sedangkan beberapa negara dengan kawasan yang kecil, seperti Israel, Jepang, Thailand dan Singapura sudah sangat jauh lebih dahulu mengembangkan bidang ini. Saat ini di Singapura, misalnya, telah memiliki pusat pengembangan bioteknologi yang dinamai Biopolis untuk mengembangkan obat-obatan, sedangkan di Malaysia didirikan Bio Valley yang berfokus pada pengembangan minyak sawit dan karet.

Selain itu, negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Australia, telah lama mengadakan riset terpadu di bidang bioteknologi, bahkan mereka telah menjual produk-produk baru dengan hak paten dari hasil biotek dan rekayasa genetika, seperti antibiotik, obat-obatan, bahan kosmetik, bahan makanan serta tanaman transgenik, dan sebagainya.

Manfaat Bioprospeksi Untuk Membangun Industri Pertanian Berwawasan Lingkungan

Di kalangan ahli biologi, keanekaragaman hayati telah lama diketahui akan membawa manfaat besar. Oleh karena itu diadakanlah upaya pengungkapan potensi-potensi manfaatnya yang dikenal dengan Bioprospeksi. Bioprospeksi merupakan upaya untuk mencari kandungan kimiawi baru pada makhluk hidup (baik mikroorganisme, hewan dan tumbuhan) yang mempunyai potensi sebagai obat-obatan atau untuk tujuan komersial lainnya. Hari ini, dari 25 perusahaan penjualan hasil farmasi dunia yang paling terkenal,10 diantaranya hasil bioprospeksi yang dijumpai pada hewan, tumbuhan atau mikro organisme (bakteri). Pada tahun 1995, hasil perdangangan dunia obat-obatan yang berasal dari bioprospeksi ini mencapai angka $AS14 milliar.

Upaya mencari tahu dengan bioprospeksi, kebanyakan juga berdasarkan pada pengetahuan tradisional terdahulu dari masyarakat suatu tempat. Misalnya saja, suku-suku di Pulau Siberut Kepulauan Mentawai, Sumatera, telah lama menggunakan ratusan jenis-jenis tanaman obat untuk mengatasi demam hingga penawar luka. Biasanya, para ahli farmasi dan peneliti biologi kemudian mengadakan kajian untuk mengungkap potensi alami atau zat aktif yang dimiliki oleh masing-masing tanaman tersebut, sayangnya, kemudian, banyak juga yang tidak memperdulikan atas hak intelektual suku-suku yang ‘ilmu perobatannya’ diambil oleh para farmakolog yang hanya tinggal melanjutkan saja. Lazimnya, mesti ada kerjasama dan pembagian hasil atas hak intelektual suku tersebut untuk dapat melestarikan potensi dan kemungkinan perawatan potensi tanaman lainnya yang masih ada di alam.

Sebenarnya para peneliti telah lama bergelut dengan penelitian potensi-potensi hayati yang ada di Indonesia. Seorang peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), misalnya, boleh jadi, mempunyai puluhan paten atas penemuan dan potensi manfaat mikro organisme yang telah diisolasi atas hasil penelitiannya di laboratorium. Di Indonesia upaya inventarisasi untuk bioprospeksi ini dilakukan misalnya, oleh Indonesian Center for Biologicaldiversity and Biotechnology (ICBB), yang bermarkas di Bogor. Lembaga ini telah mendata lebih dari 10.000 isolat (kultur mikro organisme) yang sebagian besar diisolasi dari Indonesia. Makhluk hidup yang berupa jasad renik itu telah didepositkan pada Culture Collection ICBB. Sebagian besar isolat-isolat tersebut, menurut pihak ICBB, belum pernah dikaji atau diidentifikasi. Strain yang ada dalam Culture Collection ICBB tersedia untuk masyarakat ilmiah pada level nasional maupun internasional, baik di lembaga akademik maupun industri.

ICBB juga telah menginventarisasi keanekaragaman hayati tumbuhan dan binatang tingkat tinggi Ekologi Air Hitam (EAH), yang terdapat di pedalaman Kalimantan Tengah. EAH merupakan habitat berbagai tumbuhan yang secara ekonomis penting, misalnya lebih dari 100 spesies pohon kayu hutan, lebih dari 40 spesies rumput-rumputan, anggrek, rotan, jamur, dan buah-buahan hutan. Beberapa tergolong spesies langka misalnya: gembor (Alseodaphne umbeliflora), jelutung (Dyera costulaca), kapur naga (Callophilium soulatri), kempas (Koompassia malcencis), ketiau (Ganua motleyana), mentibu (Dactyloclades stenostachys), nyatoh (Palaquium scholaris), rambutan hutan (Nephelium sp.) dan ramin (Gonysstylus bancanus). Gembor, biasanya hanya diambil kulitnya, untuk dijadikan bahan baku obat nyamuk bakar. Sedangkan jelutung disadap lateksnya untuk bahan baku industri. Selain itu Tim Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), 1998, telah pula mengidentifikasi lebih dari 40 spesies tumbuhan obat yang hidup di ekosisten air hitam.

Potensi-potensi bioprospeksi sebenarnya tidak hanya dijumpai di habitat alam (di hutan) saja, tetapi, jugIndonesia yang merupakan kawasan beriklim tropis mengakibatkan segala makhluk beragam jenis dapat hidup dengan baik dan unik. Namun rahasia dan manfaatnya masih banyak yang belum terungkap. Sebagai contoh, dari hasil screening pada sampel tanah sawah pertanian dengan tanaman pokok padi IR64, diperoleh beberapa strain bakteria penghasil enzim phytase dan phosphatase, di antaranya marga Bacillus, Klebsiella, Enterobacter, Pantoea, dan bakteri-bakteri baru yang sama sekali belum dikenal secara taksonomi.

Enzim phytase merupakan komoditas yang sangat bagus karena merupakan salah satu anggota dari kelompok enzim phosphatase yang mampu menghidrolisis senyawa phytat. Enzim ini sekarang menjadi salah satu enzim komersial di dunia.

Senyawa Phytat adalah senyawa phosphat komplek yang tersimpan hingga 88 persen dalam bentuk biji-bijian. Senyawa ini mampu mengikat logam-logam seperti Mg, Mn, Fe, Zn, Ca, dan protein yang sangat berguna bagi pertumbuhan tanaman, hewan, dan manusia. Ketiadaan enzim phytase pada saluran pencernaan hewan (khususnya hewan monogastric/nonruminansia: seperti unggas dan ikan) serta manusia, mengakibatkan senyawa phytat dalam biji yang dikonsumsi tidak bisa dicerna. Akibatnya senyawa ini terbuang percuma bersama kotoran (feses). Padahal, biji-bijian umumnya adalah sumber makanan ternak dan makanan pokok kita. Maka, dengan bantuan enzim phytase, manfaat biji-bijian (termasuk beras dan kedelai—yang termasuk polong-polongan), bisa diambil manfaatnya secara optimal. Bagi hewan ternak, enzim ini menjadi penting sebagai alat pembantu efisiensi makanan yang diberikan.

Penulis: Fachruddin M. Mangunjaya
Sumber: http://www.conservation.or.id/